Mengapa Naskah Saya Diterima Penerbit?

Novel ‘The Hidden Truth’ (judul awal Don’t Stop Believing) bagi saya terbilang istimewa. Kenapa demikian? Naskah novel ini ditulis jauh sebelum saya berani menulis apa pun, baik untuk media cetak ataupun penerbit. Meskipun ini naskah pertama yang berhasil saya selesaikan, namun kenyataannya empat naskah yang saya tulis jauh setelahnya, lebih dulu nangkring di toko-toko buku.

Pada awalnya, naskah ini dibuat untuk lomba di sebuah penerbit. Ketika itu, kalau tidak salah pada awal 2014 dengan tema ‘passion‘. Saya yang saat itu sudah bergabung dengan Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga  sebagai relawan, menganggap bahwa passion bukan saja tentang karier yang menghasilkan keuntungan finansial, namun relawan pun termasuk ke dalamnya.

Singkat kata, naskah tersebut tidak memenangkan kompetisi. Tentu saja naskah saya tersisih. Ketika itu, saya bahkan belum paham bagaimana menulis yang baik dan benar. Ikut lomba pun hanya berbekal nekad. Lantas, naskah tersebut hampir terlupakan begitu saja ketika saya memberanikan diri menulis lagi dalam kompetisi serupa yang diadakan Penerbit Tiga Serangkai. Dalam lomba ini, saya kembali mengangkat minat saya sebagai relawan dan kebetulan tema lomba adalah ‘Seberapa Indonesiakah Dirimu’. Saya yang sudah terlanjur mencintai Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga dengan koleksi andalannya mainan dan permainan tempo dulu, tentu tak bisa lepas dari aktivitas keseharian saya di sana. Saya berpikir, mainan dan permainan tempo dulu pantas diangkat, sebab inilah Indonesia. Ya, Indonesia yang terlupakan. Remaja dan budaya tradisional, inilah yang ingin saya angkat. Dan alhamdulillah, naskah  ini terpilih menjadi juara pertama. Barangkali karena tema yang saya angkat terbilang unik, di mana di zaman ini sudah termasuk asing dan hampir terlupakan.

Begitu memenangkan lomba nasional tersebut, tingkat kepercayaan diri saya pun bertambah sekian persen. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mengembangkan sayap. Naskah ‘Don’t Stop Believing’ kembali saya lirik. Mulailah naskah tersebut saya kirimkan ke beberapa penerbit. Entah sudah berapa penerbit yang saya sambangi, dari semuanya menolak. Kebanyakan penerbit yang menolak, memberi alasan bahwa tema kurang menarik dan tidak layak jual. Ada juga sih satu penerbit di Jakarta yang sempat hampir menerbitkannya, namun tiba-tiba saja tak berkabar. Ah, sudahlah! Kemudian saya mulai merombak besar-besaran, dari mulai plot dan menambahkan unsur romance di luar kerelawanan yang menjadi topik utama. Plot pun saya bolak-balik sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi naskah novel passion-romance. Pada sekitar pertengahan 2019, naskah lama rasa baru tersebut saya kirimkan ke  Penerbit Andi dan Alhamdulillah langsung di-acc. Saya berpikir, kuncinya adalah sabar; sabar memperbaiki naskah, sabar menawarkan, sabar menunggu dan sabar dicaci haha.

Ada beberapa keunikan lain pada ‘The Hidden Truth’ yang sepertinya sayang jika saya simpan sendiri. Apa sajakah keunikan tersebut? Berikut ulasannya:

Sang Inspirator

 Awal menulis ‘The Hidden Truth’ saya tergugah mengangkat sosok Mr. Rudolph yang kami panggil Pak Rudi (Rudi Corens). Ia yang saat itu berusia 81 tahun, banyak menularkan semangat pada kami para relawan di Museum Pendidikan & Mainan Kolong Tangga. Selain founder museum, ia juga di awal-awal pendiriannya membuat program edukasi alternatif melalui mainan dan permainan tradisional secara gratis. Baru kemudian setelah ada relawan, semua program museum dijalankan oleh mereka.

Jika pada novel perdana ‘Karena Aku Tak Buta’ saya terinspirasi konsep museum dan program kerja yang salah satunya mengenalkan mainan dan permainan tradisional, di novel ‘The Hidden Truth’ ini saya terinspirasi langsung oleh sosok Pak Rudi plus para relawannya.

Pak Rudi Bersama Teman-Teman Relawan

Klimat bijak yang selalu saya ingat ketika kami down oleh berbagai persoalan di museum (kekurangan relawan, tidak komitmen, minim dana, celaan sekitar dll) adalah ‘don’t stop believing to what we’re doing’. Jadi, menurutnya kita harus meyakini dulu sesuatu yang kita kerjakan adalah hal baik, baru kemudian memperjuangkannya. Hal baik pasti akan selalu diberi jalan jika kita meyakininya.

Sosok Pak Rudi saya hadirkan langsung di novel ini, melalui beberapa aksi dan ucapan-ucapan yang secara langsung menurun pada tokoh utama, Yudha.

Sekarang Pak Rudi sudah 86 tahun dan sedang tidak baik kesehatannya. Penyakit yang menggerogoti fisik dan jiwanya sejak 4 tahun belakangan, seolah telah merampas pula kebebasannya mengkuratori koleksi museum, bermain bersama anak-anak dan berjuang untuk pendidikan anak yang lebih baik. Namun begitu, semangatnya masih berkobar.

Melalui novel ini saya ingin memberikan penghargaan pada Pak Rudi dan teman-teman relawan. Saya mencintai mereka dan museumnya dan tak ingin program edukasi terhenti. Itu sebabnya, saya menyumbangkan 50% dari royalti novel ke museum kesayangan ini.

Hubungan dengan ‘Karena Aku Tak Buta’

Saya sebenarnya tidak ingin spoiler isi ‘The Hidden Truth’, tetapi hanya ingin memberi bocoran apa kaitannya dengan novel ‘Karena Aku Tak Buta’ yang lahir mendahului kakaknya hehe. Keduanya memang mengangkat tentang kerelawanan–relawan dalam artian yang sebenarnya, bekerja tanpa imbalan finansial.

Di ‘Karena Aku Tak Buta’ saya menghadirkan budaya mainan dan permainan tradisional untuk menyadarkan Zad, seorang cowok metropolitan. Betapa tak Indonesianya Zad itu. Ia yang dilahirkan di tanah Indonesia, sama sekali tak pernah mengenal budaya milik negerinya, salah satunya mainan dan permainan tradisional. Dengan kesadaran itulah, Zad yang awalnya diajak Gendis (seorang relawan, teman Yudha) berjuang untuk membantu Gubug Budhayah mewujudkan keinginannya menciptakan Festival Dolanan tempo dulu bekerja sama dengan Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga. Zad yang awalnya antipati, justru menjadi simpatik terlebih dengan didukung teman-temannya yang di awal-awal menentang perjuangannya. Ia [un menyadari arti pentingnya melestarikan mainan dan permainan tempo dulu.

Sedangkan di ‘The Hidden Truth’, saya menghadirkan tokoh Yudha sebagai relawan senior yang memiliki komitmen luar biasa pada Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga. Ia yang menjadikan Pak Rudi sebagai panutan, tak rela jika sang inspirator tersebut mendapat penolakan dan bahkan hinaan dari banyak pihak. Perjuangan Yudha pun semakin ekstra ketika dirinya tiba-tiba difitnah telah menerima suap dari pabrik sepatu terbesar di Bantul. Dan… bla bla bla.

Karena Yudha dan Gendis (plus Zad) memakai Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga sebagai setting, tentu ada adegan yang sama dalam kedua novel di atas. Ini tentu saja tidak wajib sih. Tetapi, setting waktu yang saya pakai hampir bersamaan. Ada irisan adegan yang mau tidak mau ada di kedua novel.

Pertama dalam ‘Karena Aku Tak Buta’, ketika Zad dan Gendis menemui Yudha yang tengah memandu anak-anak membuat workshop hastakarya. Ada di halaman 129-134.

Kedua saat Zad datang ke sekretariat museum, ia bertemu Yudha kembali, ada di halaman 299-300.

Nah, adegan-adegan itu, tentu terbawa pula di ‘The Hidden Truth’ meskipun tidak sebanyak adegan di ‘Karena Aku Tak Buta’. Untuk jelasnya, silakan buka saja hehe.

Based on a True Story

Para Relawan Bersama Anak-Anak Seusai Workshop Keterampilan

Novel ‘The Hidden Truth’ berkisah tentang perjuangan seorang relawan–plus pendiri museum–menunjukkan kebenaran.  Karena ini berdasarkan kisah nyata, maka tokoh-tokoh di dalamnya saya ambil dari beberapa relawan. Meskipun demikian, nama tokoh tidak sepenuhnya mewakili karakter. Sebagaimana novel, untuk mendramatisasi saya menciptakan karakter-karakter gabungan dari beberapa karakter unik yang saya dapat dari teman-teman. 

2 thoughts on “Mengapa Naskah Saya Diterima Penerbit?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *