“Jangan ragu-ragu. Tak perlu memikirkan aku nanti akan kesulitan menangkap maknanya,” katanya waktu itu.
“Tidak ragu-ragu. Aku hanya memilih kata apa yang akan kupakai, agar kau lebih mudah memahami,” sahutku.
“Bukankah ada beberapa kata yang tidak bisa dicari padanannya?” sambungnya.
Sebenarnya bukan masalah padanan kata. Ini masalah pengertian menurut visual mata. Aku rasa dia salah paham dan dari situlah aku langsung curiga, penyataannya itu semacam kesombongan yang datang dari seorang yang jelas-jelas matanya buta. Kuakui, aku memikirkan banyak hal yang sangat mungkin tidak dia pahami karena butanya bukan buta dadakan. Dia buta sejak lahir yang tentu saja tak pernah melihat segala sesuatu.

Selain itu aku juga berpikir, apakah orang dalam kondisi tidak normal akan cenderung mudah tersinggung. Jika hal itu benar, bisa jadi pernyataan-pernyatannya memang ungkapan kesombongan dan hal itu bisa jadi efek dari ketersinggungan. Tetapi di saat dia berusaha menjelaskan serius sebuah perumpamaan yang didasarkan atas pengalamannya, pendapatku mengenai dirinya menjadi berbeda. Paling tidak aku tak pernah lagi menganggapnya belagu, atau apa pun yang bersifat merendahkannya.
Bermula dari sebuah pertanyaanku kepadanya tentang warna. Pertanyaan yang sebenarnya hanya kumaksudkan untuk menyakinkan kepadanya bahwa dia pasti akan kesulitan mengindentifikasi sesuatu atau mendefinisikan sesuatu yang aku tanyakan itu. Aku bertanya kepadanya apakah warna itu, dan bagaimana dia akan memberi penjelasan, termasuk penjelasan mengenai salah satu macam warna, misalnya merah dan seterusnya.
“Sebenarnya sebelum kamu bertanya begitu, aku telah memikirkan hal itu. Jujur, aku memang sulit menjelaskan, meski begitu izinkan aku untuk mengatakan sesuatu.”
“Silakan,” jawabku singkat waktu itu dan aku sungguh penasaran apa yang akan dia dikatakan.
“Aku memang buta, tapi aku tidak tuli. Aku bisa mendengar dan oleh karenanya aku akan membahas sesuatu dari sisi kenormalan yang kupunyai, di mana dengan itu aku bisa mengalami hal yang semestinya, hal yang orang normal punya. Dan jawaban ini berbentuk puisi. Puisi ini kubuat setelah memikirkan tentang bagaimana seorang buta melihat. Puisi ini berjudul; Batin// Ibarat telingaku yang tuli/ Aku mendengar nyanyianmu/Pada keheningan yang sempurna/Aku menangkap notasi-notasi rindu/ Segalanya terbuka/ Bebas hambatan/ Berjuta penghalang runtuh oleh kerja batinku/ Seluruh sunyi memusat lalu mengristal menjadi sebuah bisikan/ Himpunan peristiwa masa silam sampai sekarang melahirkan sebuah rumus tentang kemungkinan munculnya gaung/ Menggema melaju melalui lorong ketulianku/ Melewati selaput deteksi/ Menyimpulkan intisari.”
Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan saja pada saat dia selesai mendeklamasikan puisinya tapi selama dia melafalkan bait-baik puisi itu pun jantungku sudah berdebar. Ada perasaan yang mengharu biru di dalam hatiku. Hal itu menjadikan sebab munculnya ketidakberanianku lagi untuk menanyakan perihal warna lebih lanjut. Justru dari situ ada rasa kagumku kepadanya. Dia seperti tidak mempermasalahkan kebutaannya dalam menjalani kehidupan ini. Apakah benar adanya anggapan bahwa orang buta justru akan dapat melihat segala sesuatu sampai ke dalam ceruk pengertian yang terdalam?
Sejak itu, aku meyakini kalau karakternya memang pantas diandalkan. Bahkan anggapanku dulu bahwa usahanya melanjutkan studi ke perguruan tinggi hanya sebatas keinginan untuk membuktikan dirinya bukan orang yang lemah, kini kuhapus. Sejak itu aku punya penilaian yang baru kepadanya. Meski dengan kondisi buta, dia tak pernah punya rasa takut untuk menjalani masa depan. Seperti yang pernah dikatakannya padaku, apa yang terjadi di masa depan adalah hasil dari sebuah perencanaan dan realisasinya.
“Tentu saja kita tidak bisa lepas dari Tuhan Maha Kehendak yang sudah pasti hal itu bukan ranah kuasa kita,” tambahnya waktu itu.
“Jadi kamu yakin dengan masa depanmu?” tanyaku meyakinkan lagi.
“Begitulah, tapi perlu diingat bahwa keyakinan tidak sama dengan kesombongan.”
“Maksudmu?”
“Keyakinan lebih merujuk kepada pengertian kepercayaan diri dan kesombongan lebih mengarah kepada pengertian bahwa apa yang akan terjadi semata karena kendalinya.”
“Bagaimana kamu bisa yakin? Bagaimana kamu tidak merasa takut?”
“Jangan salah. Keyakinanku tidak muncul begitu saja. Aku sudah melewati masa buruk dan terpuruk hingga pada saat itu rasa putus asa terus menjangkitiku. Bahkan dulu aku menganggap, aku hidup hanya untuk menjadi pesakitan. Pada saat kondisi seperti itu, ketakutan bersemayam dalam diriku. Dan hal itu terjadi jauh sebelum kita kenal.”
Lagi-lagi aku dibuat kagum padanya. Pengakuannya itu membuka mataku, bahwa kematangan pribadi tidak bisa diraih secara mudah. Tidak seperti saat kita membalikkan telapak tangan. Segalanya memakai perjuangan hebat. Pengakuannya waktu itulah yang menunjukkan dan pengakuan bahwa dirinya manusia biasa yang punya banyak kelemahan. Termasuk juga tidak inginnya dia dianggap super.
Oya, mungkin di antara kalian ada yang bertanya, atau paling tidak membatin sesuatu, sesungguhnya alasan apa yang mendasariku saat ini aku membahas tentang dirinya. Anggaplah hal ini sebuah kecurigaan kalian dan aku mengakui bahwa kecurigaan kalian itu benar adanya. Sesungguhnya aku hanya ingin menceritakan bagaimana perasaanku bekerja terhadapnya selama ini.
Mungkin di antara kalian sudah bisa menebak inti dari ceritaku. Cerita yang menyimpulkan bahwa di perjalananku bersahabat dengan dirinya, dia mengutarakan keinginannya untuk melamarku. Dia ingin aku menjadi istrinya. Hal itu disampaikan saat dia telah menyelesaikan studi dan akhirnya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemrograman. Dia memang mendalami dunia software.
Benar. Aku telah memercayainya, karakter dan kepribadiannya memang tak perlu diragukan lagi tapi kalau memikirkan bahwa aku akan menjadi pendamping hidupnya, jujur tak pernah sedikit pun terlintas dalam benakku. Jadi tentu saja waktu itu aku sangat terkejut saat dia mengutarakan maksudnya itu. Kupikir dia sudah kelewat percaya diri. Spontan yang kupikirkan waktu itu, aku menganggap bahwa kenekatannya tersebut telah menurunkan levelku. Tapi setelah itu sebetulnya aku sendiri merasa tidak begitu yakin dengan kata level yang kupakai. Sebuah kata yang sesungguhnya aku tidak tahu untuk mengukur tentang apa. Oleh karenanya saat itu aku langsung terdiam dalam waktu yang cukup lama. Mungkin dia bisa menangkap perubahan sikapku. Mungkin dia bisa merasakan apa yang aku pikirkan hingga akhirnya dia mengatakan sesuatu.
“Tidak perlu sungkan kepadaku. Aku sudah benar-benar siap menerima apa pun keputusanmu. Dan yang sangat kuharap darimu, apa pun yang kau putuskan, hal itu adalah kejujuran yang dikatakan hatimu.”
Sial! Benar-benar sial. Kalian pastinya sudah punya dugaan apa yang dikatakan oleh hatiku. Bukankah tadi sebagian sudah aku katakan? Tetapi masalahnya tidak bisa sekaku itu. Di sepanjang aku bercerita, bukankah aku juga bilang bahwa aku menghargai atas proses kematangan kepribadian dan karakternya? Bahkan aku juga mengemukakan kekagumanku kepadanya. Jadi kupikir apa yang dia katakan itu sungguh sangat merongrong perasaanku.
Di sinilah aku berpikir, harusnya hati bukan disimbolkan dengan warna merah saja. Harusnya hati berwarna-warni. Mungkin diperlukan sebuah kebijaksanaan agar hati dapat terbantu untuk memutuskan segala sesuatunya. Tapi aku tidak tahu, kebijaksanaan macam apa yang bisa membantuku untuk memutuskan masalah ini. Dan kapan pula kebijaksanaan itu akan datang. Haruskah aku menunggu? Tapi sejauh itu aku tak segera menemukannya. Karena pada kenyataannya, setelah dia mengemukakan maksudnya itu, aku meminta waktu untuk memikirkannya. Dan sampai dengan waktu yang kuminta telah habis, aku belum juga memantapkan hati apakah aku akan menerimanya atau menolaknya.
Banyak sekali yang kupikirkan. Dari sekian banyak itu tentu saja yang paling dominan tentang bagaimana caranya menyelaraskan pikir dan tindakan andai kami benar-benar hidup serumah. Bagaimana caranya kami saling membangun perasaan? Bagaimana caranya kami saling memberi perhatian? Atau contoh paling konyol yang kupikirkan adalah bagaimana caranya kami saling bernapsu. Dia tidak bisa melihatku telanjang. Dia tidak bisa melihat pahaku, bokongku atau buah dadaku. Tiga hal yang kabarnya bisa membuat kaum lelaki blingsatan saat melihatnya. Dan aku, pada saat melihat dirinya telanjang, bisa jadi perasaanku mengatakan aku seperti sedang melihat sebuah patung. Benar, dia bisa meraba, dia bisa mendengar dan dia juga bisa bicara tapi bagaimana dengan keinginanku yang mengatakan bahwa diriku ingin dilihat? Aku ingin dia melihatku telanjang.
Aku tidak segera menentukan pilihan itu sampai berlarut-larut hingga akhirnya dia datang ke rumahku, sengaja menemuiku. Celakanya pada saat itu aku belum juga punya keputusan. Tapi anehnya, setelah melakukan perbincangan dengannya waktu itu, aku seperti tiba-tiba dengan mudah memutuskan pilihan. Dan berikut adalah sebagian perbincangan kami yang membuatku menjadi mantap menentukan pilihan itu. Pada awalnya aku banyak diam. Kalau toh bicara, hanya pendek-pendek, atau seperlunya saja.
“Sepertinya aku bisa menebak apa kata hatimu, tapi sebelum aku benar-benar mendengar hal itu langsung darimu, aku ingin menjawab pertanyaanmu waktu itu. Pertanyaan tentang warna.”
“Ya?” sahutku.
“Warna, arti menurut yang kubaca dengan jariku di kamus adalah corak atau rupa, tetapi keterangan seperti ini bagiku masih hanya sebatas gambaran. Tidak jelas juga. Dan jujur aku tidak bisa menerangkan bagaimana rupa macam warna itu. Aku bisa menyebutkan tapi tak bisa mendefinisikan. Bahkan menurutku bukan cuma orang yang buta saja yang tidak bisa mendefinisikannya. Orang yang normal pun menurutku tidak bisa juga. Paling-paling kalian bisanya hanya menerangkan model padanannya, misalnya merah itu seperti darah. Dan hijau itu seperti daun, begitu.
Tapi jika aku yang mencontohkannya begitu, akan terasa lucu, karena pada dasarnya aku juga tidak tahu warna darah dan daun itu. Jika pun aku tahu warna benda-benda itu karena aku lebih dulu membacanya atau mendapatkan pengertian sebelumnya. Tapi sebenarnya meski aku tidak tahu bagaimana rupa warna itu tetapi aku sudah punya gambaran yang kuciptakan sendiri, bagaimana rupa warna-warna itu, meski tetap saja aku tidak bisa mendefinisikan. Yang penting bagiku gambaran warna yang kuciptakan itu tidak ada yang sama untuk setiap warna. Maksudku antara warna yang satu dengan yang lain berbeda.”
“Hmm.”
“Begitulah jawabanku, dan kini aku sudah tidak berutang lagi padamu, jadi aku sudah bebas.” Dia tertawa kecil sebelum melanjutkan bicaranya, “Oya, ngomong-ngomong, apa warna kesukaanmu?” tanyanya kemudian yang membuat sedikit membuyarkan pikiranku.
“Aku tak punya warna kesukaan.”
“Oya?”
“Semua warna aku suka, terkantung konteksnya.”
“Maksudmu?”
“Untuk baju aku suka warna hitam atau putih. Cat tembok rumah aku suka warna ungu muda. Sepeda motor aku lebih suka warna merah dan seterusnya. Oya asal kau tahu, aku suka melihat permainan bola dan aku suka jika warna biru yang jadi seragamnya.” Kalimat yang terakhir membuatnya tersenyum, dan senyuman itu sanggup menulari bibirku.
“Kalau warna bendera?”
“Merah putih, dong.”
‘Warna keramik?”
“Hijau muda.”
“Sprei?”
“Apa ya? Biru muda.”
“Sepatu?”
“Coklat tua.”
“Pewarna kuku?”
“Merah muda dan putih.”
“Celana dalam?”
Aku tak segera menjawab mendengar dia mengatakan celana dalam, dadaku berdesir. Detakan jantungku sedikit lebih cepat.
“Kutangmu?” tanyanya lagi dengan suara yang sedikit lebih pelan sebelum aku sempat menjawab warna untuk celana dalam. Entah apa yang kupikir saat itu, tiba-tiba aku mengatakan kata, “Mau.”
“Mau? Maksudmu mau?”
“Aku mau jadi istrimu.”
===================
Yuditeha, menulis puisi dan cerita. Kumcer terbarunya Cara Jitu Menjadi Munafik (Stiletto, 2018). Novel terbarunya Tjap (Basabasi, 2018). Novel Tiga Langkah Mati (Penerbit Buku Kompas, 2019). Novelnya Imaji Biru memenangi juara pertama Lomba Novel Jejak Publisher (2018). Aktif di Sastra Alit Surakarta dan Pendiri Kamar Kata Karanganyar.
=======================
Ingin cerpenmu dimuat juga, silakan baca persyaratannya di sini
Makin baca ke bawah, aku jadi horny. Eh ending. Haha ..